Minggu, 15 November 2009

RUMAH DJALOE, RUMAH DARI KAOS ASELI BIKINAN BLITAR DAN PECINTA KOMUNITAS TEMPO DOELOE KOTA PATRIA


Dodi Prastowo (kanan) beserta rekannya, Agus, saat menyambut tamu yang datang ke Rumah Djaloe
KRC, Blitar
Berawal dari kecemburuan terhadap kota-kota lain di Indonesia yang memiliki icon fashion lokal seperti Yogyakarta dengan Dagadu-nya, atau Bandung dengan outlet-outlet distronya, beberapa anak muda Blitar yang dipelopori oleh Dodi Prastowo (32) beserta keempat rekan lain yang mengusung idealisme untuk mengangkat nama Blitar sebagai salah satu objek wisata sejarah dan budaya, mendirikan Rumah Djaloe sebagai ’distro’ dari Kaos Djaloe yang bertempat di Jln. Ir. Soekarno No. 102C, hanya beberapa puluh meter dari area Makam Bung Karno.
“DJALOE ialah kependekan dari DJAMAN DOELOE, tetapi DJALOE djoega berarti tadji ajam djantan. Dus, DJALOE BLITAR adalah tanda tjinta jang tadjam dan mendalam dari kita semoea kepada sedjarah kota ketjil jang populer..” demikianlah sepenggal ungkapan yang ditulis dalam akun Facebook Kaos Djaloe Blitar untuk menjelaskan asal-usul nama kaos berdesain unik ini.
Koran Rakyat berkesempatan mengunjungi Rumah Djaloe pada hari Sabtu, 14/11 sore untuk menuntaskan rasa keingintahuan akan keberadaan Kaos Djaloe yang lebih banyak dipromosikan lewat dunia maya di situs jejaring sosial Facebook ini. Disambut di sebuah paviliun berukuran sekitar 4x4 meter persegi yang dipenuhi oleh foto-foto klasik Blitar tempo doeloe, beberapa koleksi barang dan buku-buku antik yang dapat dibaca di tempat, dan tentunya koleksi Kaos Djaloe yang dipajang secara sederhana di sudut ruangan, kedua ’punggawa’ berkacamata dari Rumah Djaloe menyambut KR dengan ramah dan bersahaja.

”Siapa saja boleh untuk datang ke sini tanpa harus ada keterikatan untuk membeli, kok, Mbak,” jelas Dodi, salah satu pendiri Kaos Djaloe. ”Karena,” lanjutnya, ”Rumah Djaloe bukan hanya berfungsi sebagai tempat display Kaos Djaloe, tapi mungkin lebih ke arah rumah bagi para pecinta komunitas tempo doeloe di Kota Blitar,” ungkapnya dengan santun.
Berdasarkan pengamatan KR dari buku tamu yang terdapat di meja tempat kami berbincang-bincang, hampir setiap hari selalu ada saja pengunjung baik dari luar maupun dalam kota yang singgah ke Rumah Djaloe, mulai dari sekedar ingin menuntaskan rasa penasaran hingga akhirnya memborong beberapa kaos buatan asli putera daerah Blitar ini.
”Pada awalnya kami hanya memproduksi beberapa potong saja, namun kebetulan pada waktu itu ada rekan saya yang menawarkan kaos ini pada pak Walikota yang akhirnya membeli edisi pertama kami. Wah...senangnya bukan main, kaos kami dalam edisi perdananya sudah dinikmati pak Walikota.,” jelasnya lagi kemudian.
Kaos Djaloe memang belum lama dipasarkan secara umum kepada masyarakat luas semenjak Oktober 2009 lewat Facebook dan situs resmi mereka, www.djaloe.com. Setiap kali ada pengunjung yang membeli atau bahkan hanya memberikan kesan-pesan dalam buku tamu yang disodorkan akan selalu di-publish lewat status update akun Facebook milik Kaos Djaloe sehingga memberi kesan bahwa Rumah Djaloe memang bukan semata-mata sebagai tempat penjualan Kaos Djaloe saja, tetapi juga sebagai rumah singgah bagi siapapun yang ingin bernostalgia dengan kenangan masa lampau di kota Blitar.



Koleksi Buku-buku Rumah Djaloe yang dapat dibaca di tempat

Kesan tersebut dapat dilihat dari disediakannya koleksi buku-buku dan majalah dari berbagai tema yang sengaja diperuntukkan bagi siapapun yang berkunjung ke Rumah Djaloe untuk dibaca si tempat. Selain itu terdapat juga beberapa eksemplar buku yang ditulis oleh sebagai referensi bagi mereka yang ingin mempelajari riwayat sejarah kota Blitar.
Keberadaan Rumah Djaloe yang agak tersembunyi tidak menyurutkan niat kepada para pengunjung yang ingin tahu lebih banyak tentang Kaos Djaloe dan para pendirinya yang berani mengusung ’the spirit of indie’ sebagai prinsip usaha mereka.
”Kaos Djaloe ini diawali dari keprihatinan kami sebagai generasi muda Blitar akan minimnya daya tarik wisata di kota ini. Maka dengan modal nekat inilah kami bertekad untuk dapat menjadikan Kaos Djaloe sebagai salah satu cinderamata ’wajib’ bagi setiap orang yang berkunjung ke Blitar. Seperti motto kami sebagai ’Kaos Tanda Tjinta dari Blitar’. Kami memulai semua ini dengan swadaya antar teman-teman yang memiliki ide yang sama dengan kami untuk membuat icon baru kota ini, bisa dibilang proyek idealis sebatulnya, karena kami mengusahakan semua ini secara mandiri, tanpa perhatian pemerintah daerah, untuk dapat melestarikan sejarah Blitar dengan cara yang kami bisa saat ini,” lanjut Dodi kemudian.



Sudut display Kaos Djaloe yang sederhana diantara koleksi foto-foto Blitar tempo doeloe dan radio antik

Kaos Djaloe saat ini telah mengeluarkan edisi ke-4 nya dengan konsep yang berbeda pada setiap edisinya. Dengan edisi pertama yang mengusung lambang Kota Blitar pada tahun 1920, kini edisi terbaru mengusung gambar Bung Karno ketika masih remaja sebagai modelnya.
”Kami tidak menampilkan Bung Karno dalam figur dewasa yang sudah banyak dipublikasikan secara besar-besaran, namun kami sengaja menampilkan sosok Bung Karno yang masih muda dengan kutipan tulisan-tulisannya agar menginspirasi para pemakainya juga untuk tetap berjiwa muda walaupun juga sebagai pecinta tempo doeloe...”
Penasaran dengan koleksi terbaru dari Kaos Djaloe? Rumah Djaloe senantiasa terbuka lebar bagi siapapun yang singgah ke tempat ini jika Anda kebetulan lewat di Jln. Ir. Soekarno selepas berziarah ke kompleks Makam Bung Karno Blitar sekitar 300 meter ke selatan. Sebuah spanduk berukuran cukup besar berwarna hijau dengan tulisan ”Rumah Djaloe” menandakan lokasi rumah itu berada di selatan jalan. Kru Rumah Djaloe yang ramah siap menyambut Anda untuk sejenak menjelajah masa lalu dan merenungkan masa depan lewat semangat Bung Karno yang tak pernah lekang dimakan jaman. (teh).

Tidak ada komentar: