Selasa, 17 November 2009

Bupati Soeharto Raih Manggala Karya Bhakti Husada Arutala

KRC, Trenggalek
Bupati Trenggalek Soeharto meraih penghargaan Manggala Karya Bhakti Husada Arutala dari Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih beberaa hari lalu. Salah satunya atas keberhasilan menggalakkan warga di 50 desa agar tidak buang air besar sembarangan (BABS).

--
Berkendara melewati sungai-sungai di perkotaan maupun di desa, masih dijumpai orang yang buang air besar. Tidak saja dari segi kesehatan yang bisa memicu berbagai penyakit, secara estetika, pemandangangan orang yang sedang buang air besar, sangat tidak sedap.

Usaha untuk menghilangkan kebiasaan buruk BABS inilah yang getol dilakukan pemerintahan Bupati Soeharto sejak 2006 lalu. Hasilnya, kini sudah 50 desa yang tercatat sebagai Open Defecation Free (ODF), yaitu kondisi di mana seluruh individu di suatu daerah tidak lagi buang air besar secara sembarangan.

"Keberhasilan ODF merupakan indikator kedua untuk mendapatkan penghargaan ini. Indikator pertama adalah karena bupati sebagai kepala daerah sudah menganggarkan biaya untuk kesehatan, di mana dalam tiap tahunnya ada tren peningkatan," ucap Kabid Promosi dan Pemberdayaan Kesehatan, Dinas Kesehatan Trenggalek, Sutikno Slamet SKM, MM, yang turut mendampingi Soeharto saat menerima penghargaan

Penghargaan Manggala Karya Bhakti Husada Arutala merupakan penghargaan tertinggi untuk pemerintah daerah yang menunjukkan prestasi di bidang kesehatan. Untuk penanganan ODF, Trenggalek bersama dua kota lainnya, yaitu Kota Surabaya dan Kota Mojokerto.

Untuk indikator pertama, peningkatan biaya untuk kesehatan, contohnya pada program ODF tadi. Disampaikan Sutikno, dari tahun 2006 lalu mulai dibiayakan sebesar Rp 100 juta. Tahun 2007 ada peningkatan anggaran sebesar Rp 380 juta, lalu tahun 2008 Rp 400 juta, dan tahun ini Rp 450 juta.

Untuk mewujudkan desa ODF dilakukan upaya penyadaran pada masyarakat desa setempat. Dengan cara, petugas kesehatan atau fasilitator memberikan penyadaran kepada warga. Tujuannya agar warga tersentak hati nuraninya, sehingga mereka secara sadar mau membuat jamban.

"Tidak ada persyaratan khusus, apakah warga harus menggunakan leher angsa, ataukah jamban cemplung. Yang penting bisa mengisolasi tinja dari lalat atau kecoa, sehingga tidak menularkan penyakit," jelas alumnus Universitas Airlangga Surabaya ini.

Dari kegiatan tersebut, sejak 2006 ketika dideklarasikan pertama kali di Desa Tumpuk, Kecamatan Tugu, dan delapan desa lainnya, pada Mei 2008 sampai 12 November lalu sudah ada 50 desa. Berikutnya, ditargetkan pada Desember nanti akan ada satu kecamatan ODF, dan tahun 2010 nanti se-Kabupaten Trenggalek bebas buang air besar sembarangan.

Dari hitungan matematis, atas kesadaran warga ini, sudah ada jamban cemplung sebanyak 33.775 yang jika biayanya dinilai Rp 150 ribu per unit, serta jamban leher angsa dinilai Rp 1,5 juta per unit. Jika ditotal anggaran dikeluarkan warga Rp 10,521 miliar. Padahal dana untuk fasilitastor dari APBD I , II dan World Bank hanya Rp 1,127 miliar.

Selain ODF, pilar lain yang menunjukkan keberhasilan di bidang kesehatan adalah pengelolaan air minum rumah tangga, cuci tangan dengan memakai sabun, pengelolaan sampah rumah tangga dan pengelolaan limbah rumah tangga.

Mewujudkan kawasan ODF, tantangan terbesarnya justru di daerah perkotaan. Ini karena banyak pendatang yang kurang sadar pentingnya buang air besar di jamban. Sutikno mencontohkan para pedagang di pasar. Terkadang karena tidak sabar antre, mereka lebih memilih membuang air besar di sungai.

Selain dua indikator tadi, Bupati Trenggalek Soeharto juga dinilai berhasil sebagai inovator posyandu prima. Yaitu posyandu yang tidak hanya melayani balita dan ibu saja. Tapi juga manula, PAUD, dan remaja.

"Keberhasilan ini tidak bisa diraih tanpa dukugan dari berbagai pihak, masyarakat dan lintas sektor. Bahwa peran sanitasi sangatlah besar untuk meningkatkan derajat kesenatan masyarakat," pungkas Sutikno. (adb)

Tidak ada komentar: